Oleh: Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School | www.auladi.net
Sudah jelas pendapat para ulama manapun bahwa ibadah wajib seperti sholat dan shaum hanya diwajibkan untuk anak-anak yang mencapai usia baligh (pubertas). Umumnya anak-anak mencapai usia pubertas pada usia 12 tahun untuk anak perempuan dan 14 tahun untuk anak laki-laki.
Namun demikian, sebagaimana ibadah-ibadah ritual ini memerlukan latihan, tidak serta merta begitu saja dilaksanakan baru setelah wajib. Seumpama olahraga, konsistensi kekuatan fisik dan pikiran akan dicapai jika sudah berlatih lebih dulu berulang-ulang.
Bukan saya yang bicara, tapi Utusan Tuhan yang bicara. Dalam hadits shahih tentang pendidikan sholat untuk anak misalnya, Rasulullah memerintahkan para orangtua untuk mengajak sholat usia 7 tahun. Padahal, wajibnya sholat ya mulai anak baligh kan?
Para sahabat Rasulullah pun melatih anak untuk melakukan puasa jauh sebelum anak-anak mereka baligh. Disebutkan dalam hadits Rubayi’bin Muawidz ra, bahwa Rasulullah Sallallhu 'alaihi wassallam mengutus sahabat di hari Asyura (10 Muharam) untuk mengumumkan, “Barangsiapa yang sejak pagi sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya. Barangsiapa yang sudah makan, hendaknya dia puasa di sisa hairnya.”
Para sahabat mengatakan “Setelah itu, kami puasa dan menyuruh anak-anak kami untuk puasa. Kami pergi ke masjid dan kami buatkan mainan dari bulu. Jika mereka menangis karena minta makan, kami beri mainan itu hingga bisa bertahan sampai waktu berbuka (HR. Bukhari No1960, no.1136).
Ibnu Hajar mengatakan “Hadits ini adalah dalil disyariatkannya membiasakan anak-anak untuk berpuasa, karena anak yang berusia sebagaimana yang disebutkan dalam hadtis belum termasuk usia mendapatkan beban syariat. Namun mereka diperintahkan puasa dalam rangka latihan.” (fathul Bari, 4201)
Lalu kabar baik pula, meski belum wajib, anak-anak tetap mendapatkan pahala saat melaksanakan ibadah, seolah seperti tabungan masa depan anak.
Ibnu Rusyd mengatakan, “Sesungguhnya bagi anak kecil, perbuatan dosanya tidak dicatat dan perbuatan baiknya dicatat, menurut pendapat yang lebih kuat.”
Dalam At-Tamhid, Ibnu Abdil Bar membawakan riwayat dari Abul Aliyah, dari Umar bin Khatab radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengatakan, "Perbuatan baik anak kecil dicatat dan perbuatan dosanya tidak dicatat.” (At-Tamhid, 1:106)
Jadi umur berapa anak mulai diperintahkan puasa? Jika disandingkan (di-qiyas-kan) dengan ibadah sholat, maka perintah ibadah puasa pun dapat dilakukan saat anak mulai usia 7 tahun.
Disebutkan dalam riwayat dari Zubair bin Awam bahwa beliau memerintahkan anaknya untuk berpuasa jika mereka sudah mampu, dan beliau memerintahkan anaknya untuk shalat jika sudah mumayyiz (Riwayat Ibnu Abid Dunya dalam Al-Iyal, 1:47).
Apakah boleh langsung tamat sampai maghrib? Jika anak kuat melaksanakan dan tidak membahayakan kesehatan, tentu saja boleh. Al-Auza’i mengatakan “jika seorang anak mampu berpuasa tiga hari berturut-turut dan dia tidak lemah maka dia diminta untuk puasa. Demikian keterangan Ibnu Hajar”. (Fathul Bari, 3:5).
Bagaimana pula dengan anak di bawah 7 tahun? Apakah diperbolehkan anak-anak balita puasa? Semua ada tahapannya, yang dimaksud sejak dini mengenalkan ibadah itu usia berapa? Apakah berarti sedini mungkin itu sejak usia sedini-dininya, seperti mulai bayi?
Sebaik-baiknya contoh adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Rasulullah sudah jelas-jelas memerintahkan usia 7 tahun dalam ibadah sholat, jika bersikeras bahwa lebih dini lebih baik, mengapa Rasulullah tidak memerintahkan orangtua mengajarkan sholat usia 5 tahun? Mengapa tidak 3 tahun? Mengapat tidak sejak bayi sekalian? Saya sih tidak mau merasa lebih pintar dari Utusan Tuhan itu.
7 tahun itu START latihan, bukan PEAK nya. Sebagian orang memahami salah kaprah bahwa 7 tahun itu anak harus sudah bisa khatam sampai magrib. Jika demikian itu seperti menuntunt sholat anak 7 tahun sholat langsung bisa sholat 5 waktu dengan benar, tanpa menunda-nunda sholat apalagi bolong-bolong. Padahal sudah jelas dalam hadits shahih tentang sholat, pukullah 10 tahun. Artinya PEAK dari latihan sejak usia 7 tahun itu justru 10 tahun. Jika tidak mau, baru boleh dipaksa.
Tapi jika hanya ingin mengenalkan puasa untuk anak dibawah 7 tahun, boleh-boleh saja. Tapi ingatlah lho ya, namanya “mengenalkan” artinya sesekali, bukan sering kali. Sekali ini puasa, besok tidak, ya tidak apa. Bahkan dalam 1 bulan hanya puasa 3 hari pun tidak apa. Namanya juga sesekali kan?
Bagaimana jika anaknya yang mau? Padahal orangtua tidak memerintahkan? Pantau Kesiapannya. Anak-anak yang memang di hari-hari biasa malas makan atau sedikit makan, maka puasa bagi mereka adalah kesempatan emas untuk tidak disuruh-suruh makan lagi.
Meski demikian, biasanya anak dibawah 7 tahun itu akan semangat di awal pagi hari, tapi saat hari menjelang siang sampai sore, keluhan-keluhan lapar akan keluar dari mulut mereka. Bersiaplah! Untuk anak-anak balita biarkan mereka berpuasa, tapi kita sebut dengan puasa setengah hari.
Lalu bagaimana melatih anak 7 tahun atau lebih berpuasa? Bolehkah langsung khatam sampai maghrib?
1. Agar tak kaget, melatih anak puasa sebaiknya bertahap, tidak langsung tamat 1 hari penuh. Tapi jika anak memang bersemangat sampai maghrib, tentu saja diperbolehkan.
2. Dalam 1 tahun pertama anak-anak melaksanakan puasa Ramadhan, dari awal diinfokan bahwa mereka akan sahur 2x, pertama sahur betulan, bersama orang dewasa saat sebelum Subuh dan kedua “sahur” pada siang hari. Sahur kedua ini hanya istilah untuk anak, bukan sahur yang sebenarnya seperti aturan syariat.
3. Meski misalnya anak tidak tamat 1 hari penuh, pembiasaan sahur tetap dilaksanakan, agar anak dapat merasakan “suasana puasa Ramadhan” sesungguhnya kelak. Jadi bukan sahur pada jam 6 pagi.
4. Tidurlah lebih awal agar lebih dibangunkan lebih awal.
5. Diluar sahur 2x tadi, anak-anak tetap tidak diperbolehkan untuk makan dan minum. Ingatkan berulang-ulang “kita lagi puasa”.
6. Bersiaplah dengan “ujiannya”. Umumnya, “muqoddimahnya” dimulai dari dzuhur dan memuncak sebelum maghrib, sebagian anak akan terus melancarkan berbagai keluhan pada orangtua, tidak sekali, berkali-kali:
“Aduh lapar… “
“Sudah tak tahan…”
“Nanti kalau dedek sakit bagaimana?”
“Kapan sih adzan magribnya?”
“Adek adzan duluan ya, biar maghribnya duluan”.
“Bisa nggak sih jamnya dipercepat?”
7. Buat anak sibuk jika keluhan datang bertubi-tubi. Anak makin merasakan “lapar” karena banyak nganggur. Utamanya antara ashar - magrib, puncak lemas-lemas tubuh, jika anak diam nganggur maka makin mudah bagi anak merasakan “kebosanan” menunggu adzan magrib. Jadi, sibukkan anak dengan berbagai permainan, seperti para sahabat memberikan mainan dari buku-bulu agar anak teralihkan kebosanannya.
8. Reward puasa diperbolehkan jika memang belum usia baligh, tapi tidak diberikan kepada anak baligh. Umumkan dari awal bahwa reward hanya diberikan dalam rangka latihan, setelah baligh tidak akan diberikan. Tidak ada reward untuk perbuatan yang sudah wajib. Setelah ibadah jadi wajib, katakan pada anak bahwa rewardnya langsung dari Allah, lebih besar, bukan dari orangtua.
9. Selalu dampingi anak saat bukan puasa. Anak yang berlatih puasa diperbolehkan diberikan makanan atau minuman istimewa sesuai permintaan anak, selama makan dan minuman yang “direquest” anak masih halalan thayyiban. Tapi setelah anak baligh, biasakan anak untuk makan sederhana. Jangan sampai alasan agar anak tertarik puasa, menyajikan makanan lebih mewah, menjadi keterusan sampai anak berusia baligh. Puasa mengendalikan nafsu tubuh dan pikiran, bukan malah memuliakannya. Ingat, Puasa seharusnya memuliakan jiwa bukan memuliakan perut.
@abahihsan
0 Response to "Bagaimana Melatih Anak Berpuasa?"
Posting Komentar