_By Ust. Harry Santosa_
Home Education (HE) atau Home based Education (HbE), sering diterjemahkan dengan pendidikan berbasis rumah.
HE sesungguhnya bukan hal baru dan bukan pilihan, tetapi kewajiban setiap orangtua untuk mendidik keluarganya, dirinya dan anak anaknya di rumahnya. HE sudah ada setua umur manusia di muka bumi, sejak zaman Nabi Adam AS.
Jadi tiada yang istimewa, biasa saja, hanya nampak "aneh" bagi para orangtua modern yang dari generasi ke generasi selama puluhan tahun menganggap tugas mendidik anak anaknya selesai ketika menyekolahkan anak anaknya, apalagi di sekolah mahal dengan kurikulum ganda.
Diantara mereka ada yang bilang, "oh tentu mendidik itu di rumah dan kewajiban kita orangtua". Namun pada kenyataannya porsi waktu menyekolahkan mengambil alih hampir semua waktu yang ada bersama anak anaknya. Sekolah penuh hari dan wacana prestasi akademis mendominasi keseharian anak. Lalu kapan porsi mendidik anaknya?
Obrolan pendidikan di rumah, selalu di bawa ke ranah persekolahan. Yang selalu jadi bahan obrolan di rumah biasanya adalah tentang ranking, nilai akademis, jumlah hafalan, sekolah favorit, les tambahan, persiapan ujian, PR dan tugas yang belum dikerjakan dstnya. Dinding kamar anak ditempeli nasehat agar rajin bersekolah agar pandai, bukan nasehat untuk menemukan kesejatian atau tumbuh menjadi diri sendiri.
Sistem persekolahan juga semakin membuat para orangtua lalai dari mendidik anak anaknya, seolah rumah adalah satelit sekolah yang harus mendukung sepenuhnya, padahal persekolahan adalah bagian saja dari pendidikan.
Bayangkan bagaimana istilah persekolahan mengambil hak rumah dalam mendidik, misalnya PR, sebenarnya adalah tugas sekolah yang dibawa ke rumah, tetapi diberi nama Pekerjaan Rumah (PR) bukan Pekerjaan Sekolah (PS). Padahal sepanjang sejarah, pekerjaan rumah itu adalah membantu ibu di dapur, mendongeng atau berkisah bersama paman, membantu ayah berkebun atau berbisnis, membersihkan rumah, traveling seru bersama ayah atau kakek dstnya.
Come on, pendidikan bukan bicara tentang persekolahan semata, dia bicara bagaimana menyentuh jiwa manusia, berempati mendalam terhadap perasaan dan harapan juga kebutuhan mendalam, menggali potensi unik terpendam, membangun kelekatan dan kecintaan, menggairahkan seluruh aspek fitrah, membangun estetika, bahasa dan kehalusan jiwa dstnya.
Pendidikan Rumah (HE) sesungguhnya juga bicara kearifan keluarga yang diwariskan turun temurun, misi keluarga dalam pentas peradaban yang menjadi legacy sebuah keluarga, juga bicara peran sejati mendidik keluarga yang melibatkan ayah, ibu, kakek, nenek, paman, bibi, kakak, adik dstnya.
Persekolahan adalah ranah pengajaran, khusunya skill dan knowledge global, yang sebenarnya pada era knowledge seperti sekarang skill dan knowledge bisa didapatkan dari manapun sesuai kebutuhan. Keluarga bisa meracik sendiri kebutuhan skill dan knowledge yang dibutuhkan sesuai keunikan keluarganya dan keunikan jiwa jiwa yang ada di dalamnya.
Karenanya HE sesungguhnya "not too much teaching", tidak terlalu banyak mengajarkan, karena agenda utamanya adalah banyak mendidik atau menumbuhkan potensi alami anak anaknya maupun orangtuanya secara alamiah. Kami menyebutnya dengan fitrah.
Ada yang mengatakan dengan pesimis bahwa orangtua akhirnya menyerah mendidik sendiri anaknya dan memasukkan anaknya ke sekolah. Itu umumnya adalah segelintir orangtua yang menempatkan dirinya sebagai guru dengan membawa sekolah ke rumah. Mereka umumnya tidak memahami perbedaan pendidikan dan persekolahan.
Berikut adalah lebih jauh Perbedaan Home Education dengan Sekolah
1. Orangtua yang jalankan HE tidak perlu kualifikasi apalagi sertifikasi dalam mengajar mata pelajaran karena orangtua tidak banyak mengajar akademis tetapi memberi idea menantang dan inspirasi hebat (intrinsic motivation) agar anak tumbuh antusias dan gairah kecintaannya dalam belajar.
Jadi orangtua tidak perlu mengetahui semua hal apalagi dipersyaratkan harus S1, karena yang terpenting adalah gairah belajar orangtuanya bisa mengimbangi gairah belajar anak anaknya untuk bersama sama belajar dan memicu antusias anak anaknya.
Percayalah, anak yang cinta belajar akan belajar sepanjang hidupnya, anak yang terlalu banyak diajarkan akan terus minta diajarkan sepanjang hidupnya.
2. HE tidak memerlukan jadwal ketat dan kurikulum ketat apalagi kurikulum nasional "kejar tayang" yang membuat orangtua dan anak sama sama tertekan. Yang diperlukan adalah framework dan panduan. Jadwal amat dinamis, karena mengikuti minat, keunikan dan antusias anak pada obyek tertentu yang berkesan dalam keseharian. Jadwal sebagai panduan umum boleh, namun HE lebih mengutamakan "Learning through Living" belajar melalui celah peristiwa yang berkesan.
Anak yang bertanya antusias dan curious tentang sesuatu yang berkesan dan menarik minatnya, tak mungkin ditunda sampai semester depan karena tidak sesuai jadwal dan kurikulum.
3. HE tidak mempermasalahkan anak bersekolah atau tidak, karena pendidikan yang utama adalah di rumah dan komunitas. Sekolah harus mendorong peran orangtua (melalui program parental engagement) dalam mendidik anak anaknya sendiri.
Orangtua berperan dalam mengobservasi 8 aspek fitrah anak anaknya. Kemudian merancang personalized curriculum dan portfolio plan. Sementara sekolah atau guru merancang class curriculum dan portfolio class lalu mengintegrasikannya
Setiap keluarga unik, setiap anak unik, setiap daerah unik maka tidak ada kurikulum seragam yang cocok untuk semua anak, keluarga dan daerah.
4. HE memberikan ruang seluasnya kepada orangtua dan anak untuk belajar dan berkegiatan bersama alam, bersama realita kehidupan, dengan semua jenjang usia. Sementara di sekolah anak dikumpulkan dan disegregasi sesuai kelompok umur yang sama.
Orangtua berperan kreatif dan inovatif untuk merancang kegiatan seru dengan siapapun dan dimanapun, karena begitulah sepanjang sejarah belajar bisa kepada siapa saja dan bersama siapa saja, itulah sosialisasi terbaik.
5. Dalam HE, orangtua tidak perlu menandai dan menilai aktifitas anak anaknya lalu kemudain mengevaluasinya di akhir semester dengan standar tertentu seperti di sekolah. Bukan demikian, karena di dalam HE orangtua dan anak langsung mengobservasi dan merefleksikan kegiatannya serta membandingkannya dengan capaian sebelumnya dan memperbaikinya jika diperlukan.
Jangan pernah membandingkan anak kita dengan anak oranglain, jangan pernah meminta mereka menjadi versi kedua dari orang lain, karena anak kita adalah "only one version", yang diciptakan unik dan satu satunya sepanjang sejarah.
Mari kita sambut panggilan Allah untuk kembali kepada fitrah sejati kita sebagai orangtua untuk mendidik fitrah anak anaknya. Ketahuilah, Allah tidak akan memanggil mereka yang mampu, tetapi Allah akan memampukan mereka yang terpanggil.
Salam Pendidikan Peradaban
#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah
0 Response to "Perbedaan Home Education dengan Sekolah"
Posting Komentar